Wednesday, May 04, 2005

SEGENGGAM GUNDAH

Subuh tadi saya melewati sebuah rumah, 50 meter dari rumah saya dan melihat
seorang isteri mengantar suaminya sampai pagar depan rumah. "Yah, beras
sudah habis loh..." ujar isterinya. Suaminya hanya tersenyum dan bersiap
melangkah, namun langkahnya terhenti oleh panggilan anaknya dari dalam rumah
"Ayah..., besok Agus harus bayar uang praktek".
"Iya..." jawab sang Ayah. Getir terdengar di telinga saya, apalah lagi bagi
lelaki itu, saya bisa menduga langkahnya semakin berat.
Ngomong-ngomong, saya jadi ingat pesan anak saya semalam, "besok beliin
lengkeng ya" dan saya hanya menjawabnya dengan "Insya Allah" sambil berharap
anak saya tak kecewa jika malam nanti tangan ini tak berjinjing buah
kesukaannya itu.
Di kantor, seorang teman menerima SMS nyasar, "jangan lupa, pulang beliin
susu Nadia ya". Kontan saja SMS itu membuat teman saya bingung dan sedikit
berkelakar, "ini, anak siapa minta susunya ke siapa".
Saya pun sempat berpikir, mungkin jika SMS itu benar-benar sampai ke nomor
sang Ayah, tambah satu gundah lagi yang bersemayam. Kalau tersedia cukup
uang di kantong, tidaklah masalah. Bagaimana jika sebaliknya?
Banyak para Ayah setiap pagi membawa serta gundah mereka, mengiringi setiap
langkah hingga ke kantor. Keluhan isteri semalam tentang uang belanja yang
sudah habis, bayaran sekolah anak yang tertunggak sejak bulan lalu, susu si
kecil yang tersisa di sendok terakhir, bayar tagihan listrik, hutang di
warung tetangga yang mulai sering mengganggu tidur, dan segunung gundah lain
yang kerap membuatnya terlamun.
Tidak sedikit Ayah yang tangguh yang ingin membuat isterinya tersenyum,
meyakinkan anak-anaknya tenang dengan satu kalimat, "Iya, nanti semua Ayah
bereskan" meski dadanya bergemuruh kencang dan otaknya berputar mencari
jalan untuk janjinya membereskan semua
gundah yang ia genggam.
Maka sejarah pun berlangsung, banyak para Ayah yang berakhir di tali
gantungan tak kuat menahan beban ekonomi yang semakin menjerat cekat
lehernya. Baginya, tali gantungan tak bedanya dengan jeratan hutang dan
rengekan keluarga yang tak pernah bisa ia sanggupi. Sama-sama menjerat,
bedanya, tali gantungan menjerat lebih cepat dan tidak perlahan-lahan.
Tidak sedikit para Ayah yang membiarkan tangannya berlumuran darah sambil
menggenggam sebilah pisau mengorbankan hak orang lain demi menuntaskan
gundahnya. Walau akhirnya ia pun harus berakhir di dalam penjara. Yang pasti
tak henti tangis bayi di rumahnya, karena susu yang dijanjikan sang Ayah
tak pernah terbeli.
Tak jarang para Ayah yang terpaksa menggadaikan keimanannya, menipu rekan
sekantor, mendustai atasan dengan memanipulasi angka-angka, atau berbuat
curang di balik meja teman sekerja. Isteri dan anak-anaknya tak pernah tahu
dan tak pernah bertanya dari mana uang yang didapat sang Ayah. Halalkah?
Karena yang penting teredam sudah gundah hari itu.
Teramat banyak para isteri dan anak-anak yang setia menunggu kepulangan
Ayahnya, hingga larut yang ditunggu tak juga kembali.
Sementara jauh disana, lelaki yang isteri dan anak-anaknya setia menunggu
itu telah babak belur tak berkutik, hancur meregang nyawa, menahan sisa-sisa
nafas terakhir setelah dihajar massa yang geram oleh aksi pencopetan yang
dilakukannya. Sekali lagi, ada yang rela menanggung resiko ini demi
segenggam gundah yang mesti ia tuntaskan.
Sungguh, diantara sekian banyak Ayah itu, saya teramat salut dengan sebagian
Ayah lain yang tetap sabar menggenggam gundahnya, membawanya kembali ke
rumah, menyerta kannya dalam mimpi, mengadukannya dalam setiap sujud
panjangnya di pertengahan malam, hingga membawanya kembali bersama pagi.
Berharap ada rezeki yang Allah berikan hari itu, agar tuntas satu persatu
gundah yang masih ia genggam. Ayah yang ini, masih percaya bahwa Allah
takkan membiarkan hamba-Nya berada dalam kekufuran akibat gundah-gundah yang
tak pernah usai.
Para Ayah ini, yang akan menyelesaikan semua gundahnya tanpa harus
menciptakan gundah baru bagi keluarganya. Karena ia takkan menuntaskan
gundahnya dengan tali gantungan, atau dengan tangan berlumur darah, atau
berakhir di balik jeruji pengap, atau bahkan membiarkan seseorang tak
dikenal membawa kabar buruk tentang dirinya yang hangus dibakar massa
setelah tertangkap basah mencopet.
Dan saya, sebagai Ayah, akan tetap menggenggam gundah saya dengan senyum.
Saya yakin, Allah suka terhadap orang-orang yang tersenyum dan ringan
melangkah di balik semua keluh dan gundahnya. Semoga.

Bayu Gautama

0 Comments:

Post a Comment

<< Home